Terkadang, perpisahan bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Bahkan bagi saya, perpisahan selalu menjadi sebuah hal yang sangat menyedihkan. Masih teringat bagaimana saya harus berpisah dengan Bandung dan pindah ke Pekalongan, beberapa tahun yang lalu. Atau momen-momen kepindahan saya ke Bandung (lagi) untuk kuliah. Semuanya mengharukan dan menjadi dua titik dalam hidup saya. Titik perpisahan dengan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari keseharian dan juga titik awal sebuah babak baru.
9 November lalu, saya mengalami lagi perpisahan. Perpisahan pada suatu hal yang telah saya dan teman-teman perjuangkan sejak tujuh bulan sebelumnya. Perpisahan saya dengan SYMPHONESIA 2009.
Sesuai dengan rencana, SYMPHONESIA 2009 diselenggarakan pada 8 dan 9 November 2009 di 3 lokasi yang berbeda. Ruang Maluku Hotel Grand Aquilla, Jalanan dari Dipati Ukur hingga depan Gedung Sate, dan (sekali lagi) Sasana Budaya Ganesha menjadi tempat perpisahan itu, seklaigus tempat pembuktian...
... bahwa dengan segala rintangan yang ada, kami berhasil mewujudkan SYMPHONESIA 2009.
Ya, dimulai dengan pencalonan Ketua SYMPHONESIA 2009, yang akhirnya menjadikan Adya Widyadhana menjadi salah satu mahasiswa tersibuk selama setenga tahun kebelakang. Dan dimulailah fase-fase diskusi hingga tengah malam untuk menentukan tema dan lain-lainnya. Setelah memilih tema ASEAN untuk tahun ini, sata pun ditunjuk sebagai Program Director atau Koordinator Acara. Believe me, ini pertama kalinya saya menjadi koordinator untuk sebuah acara yang skalanya ASEAN, dan saya terima tugas ini sebagai sebuah tantangan dan arena pembelajaran bagi saya. Tentu saja, banyak hal yang dapat saya pelajari dengan bergabung dalam kepanitiaan saya kali ini. Selain belajar bagaimana membuat sebuah event, pelajaran lain pun akan saya dapatkan seperti bagaimana menghadapi orang, bagaimana menghandle krisis, bagaimana bernegosiasi, hingga bagaimana menerima pendapat, kesalahan, hingga prestasi. Sebuah pembelajaran yang mungkin tidak saya dapatkan di kelas dan di tempat lain.
Jadi, mulailah saya dengan tugas baru itu. Memilih tim yang pas untuk poduksi kreatif acara ini ternyata susah susah gampang. Ada banyak hal yang perlu saya pertimbangkan. Ada banyak orang yang masuk kualifikasi dan banyak pula yang hanya sekadar mencari eksistensi. Memilih teman untuk bekerja dengan saya, yang akan membantu saya, memberikan input, hingga mengingatkan saya, itulah yang paling sulit. Ada beberapa yang memang saya sudah tahu bagaimana reputasi dia dan untuk itu saya minta secara pribadi untuk bergabung. Ada beberapa yang saya sudah dengar kemampuannya, namun secara personal saya tidak tahu. Ada yang secara personal sudah saya kenal, tapi tidak tahu bagaimana dia bekerja. Ada yang tidak saya kenal, baik secara personal dan profesional. Setelah serangkaian seleksi, tarik ulur dengan divisi lain, hingga perenungan saya sendiri, saya memilih 20 orang untuk mewujudkan acara ini.
Saya kemudian membagi 20 orang tersebut menjadi 4 tim sesuai dengan rangkaian acara tahun ini. Mungkin banyak teman-teman yang ingin sekali bekerja di konser. Trust me, it have all the strees that might make you wanna cry, beside the opportunity to work in a show business. Sayangnya, saya sudah memutuskan untuk membuat tim konser seminim mungkin dengan harapan maksi. Saya tidak memprioritaskan satu acara dengan acara lainnya, karena menurut saya, SYMPHONESIA adalah kesatuan. Semua acara punya tantangan tersendiri, spesialisasinya tersendiri. Dan inilah misi saya dari awal, bahwa SYMPHONESIA akan dikenang sebagai multievent tersebesar di Bandung, atau bahkan di Indonesia nantinya, bukan hanya pagelaran musik saja. Ya, memotivasi teman-teman yang tidak bekerja di konser juga merupakan fokus saya. Saya juga berusaha untuk memberikan perhatian lebih pada mata acara lain. Yang saya inginkan adalah dimanapun teman-teman ditempatkan, mereka akan memberikan yang terbaik untuk acara ini.
Setelah memiliki tim yang saya rasa cukup handal untuk mewujudkan apa yang kita semua inginkan, mulailah bulan-bulan penuh kerjaan. Sebagai salah satu divisi yang ada di bawah teknis, memang pada bulan-bulan awal belum terasa sibuknya. Yang kami lakukan hanya mendeskripsikan acara, melihat peluang pengisi acara, muali mengontak dan lain-lain. Namun mulai bulan Agustus lah kami ini menjadi manusia-manusia sibuk. Mulai dari mengontak artis untuk konser, memikirkan jalur karnaval, mengontak tenant makanan dan minuman, mengontak Deplu, bersiap dengan teman-teman ASEAN, dan lainnya. Puncaknnya tentu saja hitungan mundur acara di satu bulan terakhir. Saat ini lah saya diuji, mulai dari artis yang tidak jadi tampil, pihak Deplu yang sedang sibuk, beberapa perwakilan ASEAN yang tidak bisa hadir, sampai hal-hal lainnya yang membuat saya berpikir bahwa I'm not the right man in the right place. Tekanan sebagai koordinator mulai dirasakan. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah mengerjakan apa yang saya bisa saya berikan semaksimal mungkin dan diam.
Hari H pun tidak luput dari seribusatu detail yang tidak terpikirkan. Mulai dari tidak ada penyambutan di Gedung Sate, ada yang batal mengisi stand, hingga terlambat masuknya sound dan ligting dan kesalahpahaman di sound chechk. Duh duh duh, rasanya saya ingin langsung tanggal 10 November saja, ketika semua nya sudah selesai. Namun ini lah tantangannya, tantangan untuk semua panitia. Bagaimana dalam waktu yang singkat, dengan emosi yang sudah cukup sangat tinggi, harus tetap berpikir jernih dan juga menyelesaikan masalah yang ada.
Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, karena selama dua hari tersebut kami diberikan limpahan anugerah dan kesabaran serta kekuatan yang melimpah. Tidak pernah saya pikirkan bahwa saya akan menjadi orang di garda depan untuk sesuatu sebesar ini. Kecemasan seratus persen saya mulai hilang berangsur-angsur ketika seminar ditutup oleh moderator. Ketika romobongan karnaval berangsur-angsur meninggalkan gedung sate. Ketika saya melihat stand-stand dari negara ASEAN mulai terisi. Hingga akhirnya benar-benar lega ketika Glenn Freddly turun panggung. Sebuah pengalaman yang sangat membanggakan, memberikan banyak pelajaran, dan menginspirasi.
Dan akhirnya, perasaan sedih pun menghampiri ketika saya melangkahkan kaki keluar Sasana Budaya Ganesha pada tanggal 9 November tengah malam. Saya akan berpisah dengan pengalaman yang luar biasa. Ibaratnya, saya dan teman-teman adalah orang tua dari SYMPHONESIA 2009 dan dia telah lahir, dan sekarang kami membiarkannya untuk tumbuh dan berkembang. Ya, malam itu perasaan saya campur aduk. Sedih, senang, bangga, haru. Tapi, apapun yang telah kami lakukan, kami anggap itu sebagai prestasi tersendiri.
Terimakashi untuk semua yang terlibat. Tanpa kalian, ini hanyalah mimpi orang-orang di tengah malam di kosan Widhi.
Sekali lagi, terima kasih.
David
9 November lalu, saya mengalami lagi perpisahan. Perpisahan pada suatu hal yang telah saya dan teman-teman perjuangkan sejak tujuh bulan sebelumnya. Perpisahan saya dengan SYMPHONESIA 2009.
Sesuai dengan rencana, SYMPHONESIA 2009 diselenggarakan pada 8 dan 9 November 2009 di 3 lokasi yang berbeda. Ruang Maluku Hotel Grand Aquilla, Jalanan dari Dipati Ukur hingga depan Gedung Sate, dan (sekali lagi) Sasana Budaya Ganesha menjadi tempat perpisahan itu, seklaigus tempat pembuktian...
... bahwa dengan segala rintangan yang ada, kami berhasil mewujudkan SYMPHONESIA 2009.
Ya, dimulai dengan pencalonan Ketua SYMPHONESIA 2009, yang akhirnya menjadikan Adya Widyadhana menjadi salah satu mahasiswa tersibuk selama setenga tahun kebelakang. Dan dimulailah fase-fase diskusi hingga tengah malam untuk menentukan tema dan lain-lainnya. Setelah memilih tema ASEAN untuk tahun ini, sata pun ditunjuk sebagai Program Director atau Koordinator Acara. Believe me, ini pertama kalinya saya menjadi koordinator untuk sebuah acara yang skalanya ASEAN, dan saya terima tugas ini sebagai sebuah tantangan dan arena pembelajaran bagi saya. Tentu saja, banyak hal yang dapat saya pelajari dengan bergabung dalam kepanitiaan saya kali ini. Selain belajar bagaimana membuat sebuah event, pelajaran lain pun akan saya dapatkan seperti bagaimana menghadapi orang, bagaimana menghandle krisis, bagaimana bernegosiasi, hingga bagaimana menerima pendapat, kesalahan, hingga prestasi. Sebuah pembelajaran yang mungkin tidak saya dapatkan di kelas dan di tempat lain.
Jadi, mulailah saya dengan tugas baru itu. Memilih tim yang pas untuk poduksi kreatif acara ini ternyata susah susah gampang. Ada banyak hal yang perlu saya pertimbangkan. Ada banyak orang yang masuk kualifikasi dan banyak pula yang hanya sekadar mencari eksistensi. Memilih teman untuk bekerja dengan saya, yang akan membantu saya, memberikan input, hingga mengingatkan saya, itulah yang paling sulit. Ada beberapa yang memang saya sudah tahu bagaimana reputasi dia dan untuk itu saya minta secara pribadi untuk bergabung. Ada beberapa yang saya sudah dengar kemampuannya, namun secara personal saya tidak tahu. Ada yang secara personal sudah saya kenal, tapi tidak tahu bagaimana dia bekerja. Ada yang tidak saya kenal, baik secara personal dan profesional. Setelah serangkaian seleksi, tarik ulur dengan divisi lain, hingga perenungan saya sendiri, saya memilih 20 orang untuk mewujudkan acara ini.
Saya kemudian membagi 20 orang tersebut menjadi 4 tim sesuai dengan rangkaian acara tahun ini. Mungkin banyak teman-teman yang ingin sekali bekerja di konser. Trust me, it have all the strees that might make you wanna cry, beside the opportunity to work in a show business. Sayangnya, saya sudah memutuskan untuk membuat tim konser seminim mungkin dengan harapan maksi. Saya tidak memprioritaskan satu acara dengan acara lainnya, karena menurut saya, SYMPHONESIA adalah kesatuan. Semua acara punya tantangan tersendiri, spesialisasinya tersendiri. Dan inilah misi saya dari awal, bahwa SYMPHONESIA akan dikenang sebagai multievent tersebesar di Bandung, atau bahkan di Indonesia nantinya, bukan hanya pagelaran musik saja. Ya, memotivasi teman-teman yang tidak bekerja di konser juga merupakan fokus saya. Saya juga berusaha untuk memberikan perhatian lebih pada mata acara lain. Yang saya inginkan adalah dimanapun teman-teman ditempatkan, mereka akan memberikan yang terbaik untuk acara ini.
Setelah memiliki tim yang saya rasa cukup handal untuk mewujudkan apa yang kita semua inginkan, mulailah bulan-bulan penuh kerjaan. Sebagai salah satu divisi yang ada di bawah teknis, memang pada bulan-bulan awal belum terasa sibuknya. Yang kami lakukan hanya mendeskripsikan acara, melihat peluang pengisi acara, muali mengontak dan lain-lain. Namun mulai bulan Agustus lah kami ini menjadi manusia-manusia sibuk. Mulai dari mengontak artis untuk konser, memikirkan jalur karnaval, mengontak tenant makanan dan minuman, mengontak Deplu, bersiap dengan teman-teman ASEAN, dan lainnya. Puncaknnya tentu saja hitungan mundur acara di satu bulan terakhir. Saat ini lah saya diuji, mulai dari artis yang tidak jadi tampil, pihak Deplu yang sedang sibuk, beberapa perwakilan ASEAN yang tidak bisa hadir, sampai hal-hal lainnya yang membuat saya berpikir bahwa I'm not the right man in the right place. Tekanan sebagai koordinator mulai dirasakan. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah mengerjakan apa yang saya bisa saya berikan semaksimal mungkin dan diam.
Hari H pun tidak luput dari seribusatu detail yang tidak terpikirkan. Mulai dari tidak ada penyambutan di Gedung Sate, ada yang batal mengisi stand, hingga terlambat masuknya sound dan ligting dan kesalahpahaman di sound chechk. Duh duh duh, rasanya saya ingin langsung tanggal 10 November saja, ketika semua nya sudah selesai. Namun ini lah tantangannya, tantangan untuk semua panitia. Bagaimana dalam waktu yang singkat, dengan emosi yang sudah cukup sangat tinggi, harus tetap berpikir jernih dan juga menyelesaikan masalah yang ada.
Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, karena selama dua hari tersebut kami diberikan limpahan anugerah dan kesabaran serta kekuatan yang melimpah. Tidak pernah saya pikirkan bahwa saya akan menjadi orang di garda depan untuk sesuatu sebesar ini. Kecemasan seratus persen saya mulai hilang berangsur-angsur ketika seminar ditutup oleh moderator. Ketika romobongan karnaval berangsur-angsur meninggalkan gedung sate. Ketika saya melihat stand-stand dari negara ASEAN mulai terisi. Hingga akhirnya benar-benar lega ketika Glenn Freddly turun panggung. Sebuah pengalaman yang sangat membanggakan, memberikan banyak pelajaran, dan menginspirasi.
Dan akhirnya, perasaan sedih pun menghampiri ketika saya melangkahkan kaki keluar Sasana Budaya Ganesha pada tanggal 9 November tengah malam. Saya akan berpisah dengan pengalaman yang luar biasa. Ibaratnya, saya dan teman-teman adalah orang tua dari SYMPHONESIA 2009 dan dia telah lahir, dan sekarang kami membiarkannya untuk tumbuh dan berkembang. Ya, malam itu perasaan saya campur aduk. Sedih, senang, bangga, haru. Tapi, apapun yang telah kami lakukan, kami anggap itu sebagai prestasi tersendiri.
Terimakashi untuk semua yang terlibat. Tanpa kalian, ini hanyalah mimpi orang-orang di tengah malam di kosan Widhi.
Sekali lagi, terima kasih.
David
No comments:
Post a Comment