Saya baru saja selesai menonton Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Sebuah film yang menurut saya sangat, sangat bagus. Entah kenapa saya baru menontonnya sekarang, padahal film ini sempat masuk nominasi Academy Awards, yang berarti seharusnya sudah saya tonton berulang kali hingga saya tidak ingin menontonnya lagi. Film ini bercerita tentang seseorang yang ingin menghilangkan memorinya, menghilangkan setitik kenangan tentang sesuatu yang spesifik, hingga dia dapat bangun dari tidur dan menganggap bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi. Ironis, dan futuristis, meskipun saya tidak yakin bahwa hal semacam itu bisa dilakukan. Siapa pula yang pernah terlintas dalam akal sehatnya bahwa amnesia adalah sesuatu yang diinginkan dalam hidupnya, meski amnesia itu parsial.
Namun selama kurang lebih seratus menit, saya diajak untuk berpikir, jika memang hal semacam itu memungkinkan untuk dilakukan, adakah satu kenangan dalam hidup saya yang ingin saya hapuskan? Adakah seseorang, yang untuk alasan tertentu, tidak ingin saya ingat pernah menjadi bagian dari hidup saya? Dan mulailah saya untuk merenungi setiap kejadian, pencapaian, kegagalan, hingga orang-orang yang selama ini ada di kehidupan saya.
Mungkin jika diibaratkan memori komputer, otak manusia adalah super hard-disk yang bisa menyimpan entah berapa besar kenangan, dari hal paing sepele hingga hal-hal besar yang mendefinisikan hidup kita. Dalam memori super canggih bernama otak ini, saya mungkin menemukan beberapa hal yang memalukan hingga membanggakan, orang-orang yang saya kenal dan menjadi bagian hidup saya hingga orang-orang yang demi Tuhan ingin saya lupakan. Entah sudah berapa banyak yang saya ingat, namun entah sudah beberapa titik juga saya ragu untuk melupakan sesuatu dari ingatan saya. Memori, entah mengapa, selalu datang dan pergi, selalu ada di saat kita tidak ingin mengingat, dan terkadang hilang ketika dibutuhkan. Namun dia selalu ada di sana, siap untuk mengakses dirinya kapan saja.
Saya bersyukur bahwa dalam usia saya yang akan mencapai 22 bulan depan, banyak kenangan indah yang saya sendiripun masih bisa tersenyum, tertawa, hingga meneteskan air mata haru ketika mengingatnya kembali. Hidup saya terlalu berwarna, pencapaian yang saya lakukan telah menembus batas imajinasi saya akan hidup ini. Ada pula hal-hal sedih, menyesakkan, keterlaluan yang tidak ingin saya ingat kembali. Terlalu sedih, muram, menjengkelkan untuk dikenang. Namun, hey, bukankah hidup tidak selalu senang dan momen-momen yang bisa saya kategorikan titik terendah hidup ini juga merupakan momen yang membentuk hidup?
Di titik perenungan tersebut saya pun sadar, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya dan saya bersyukur untuk itu. Memori pahit yang ada pada otak saya ternyata bisa saya lalui dengan baik. Saya pun melihat kembali saya sekarang, di mana saya bahagia dengan hari ini dan terus menggapai bahagia di masa depan. Memori ada untuk menjadi pengingat, pembatas waktu begitu banyak momen hidup, hingga saya bisa bersyukur dengan apa yang terjadi hari ini dan yang akan datang.
Di era teknologi yang serba canggih ini, di mana memori dapat berceceran di berbagai keping-keping memori digital, sudah sepatutnya kita menjadikan masa lalu sebagai motivasi, untuk terus mejadi yang terbaik. Hidup tidak selalu sempurna, dan tidak selalu tidak sempurna. Sempurna adalah bagaimana cara kita memandang hidup sebagai sebuah anugrah.
Pada akhirnya, memori juga berhubungan paralel dengan hati, sekuat apapun keinginan saya untuk menghapuskan ingatan, hati selalu berbicara lain. Dan itulah indahnya hidup yang sebenarnya. Biarkan saja Joel dan Clementine yang menjalankan prosedur tersebut, karena pada akhirnya, seperti judul film itu, akan ada satu titik di memori kita yang menjadi kenangan yang entah bagaimanapun juga akan selalu ada di sana dan menjadi penanda siapa kita sebenarnya.
No comments:
Post a Comment