Sound like high school, or college life, right? Itulah yang saya dapatkan setelah menonton The Social Network, sebuah film tentang awal mula Facebook, sebuah situs jejaring sosial terbesar saat ini dan bagaimana Mark Zuckenberg memulai semua hal yang menjadikannya miliuner termuda saat ini. Mark adalah tipikal anak kuliahan yang berusaha untuk mendapatkan status sosialnya di kampus, kecuali kampusnya adalah Harvard, one of the old and prestigious college in the world, di mana row crew, kelompok persaudaraan, dan club-club tertentu adalah puncak dari status sosial di sana. Tidak ada yang akan melirik seorang kutu buku, kecuali kutu buku tersebut membuat sesuatu yang akan menggemparkan Harvard, bahkan dunia. Dan Mark melakukan segalanya.
Percaya atau tidak, status sosial ternyata tidak hanya terjadi di Amerika Serikat sana, namun juga di Indonesia, dan mungkin di universitas manapun di dunia ini. Coba lihat lagi keadaan kampusmu. Adakah yang disebut kehidupan harmoni di mana kampus tidak terpecah menjadi kelompok-kelompok? Adakah kampus yang tidak menjadikan dengan siapa seseorang berteman sebuah hal yang penting? Atau, adakah kampus yang menganggap bahwa kehidupan sosial hanyalah sebuah ironi belaka yang harusnya sudah masuk peti es peradaban karena kampus adalah institusi pendidikan? Mau tak mau, saya harus menjawab dengan lantang bahwa kehiupan sosial seseorang di kampusnya memang didorong oleh semua hal tersebut, teman, kelompok, geng, apapun kamu menyebutnya yang akan memberikan kamu status sosial di dalam kehidupan sosial yang sangat kompleks di masa kuliahmu.
Mulai setuju dengan saya, atau malah berbeda pendapat? Mari kita lanjutkan.
Zuckeberg memang pada akhirnya menjadi terkenal, sebagai penemu Facebook, sebagai miliuner dunia, tapi ternyata di balik kesuksesannya mencapai status sosial yang luar biasa, dia membuat ‘perang’ dengan beberapa orang, yang sayangnya mungkin dulunya adalah teman baiknya ketika dia masih dikategorikan sebagai seseorang yang cupu. Dia akhirnya harus menghadapi dua tuntutan hukum. Yang pertama adalah tuntutan dari the Winkenvlosses dan Narendra tetang kemungkinan bahwa Facebook dibangun atas dasar ide HarvardConnection, yang mana sedang dikembangkan oleh mereka dan Zuckenberg bersedia untuk membantu. Yang kedua, yang juga sebuah ironi menurut saya, adalah tuntutan dari Eduardo Saverin, sahabat/teman dekat/CFO/co-founder Facebook atas pengubahan ownership yang dimilikinya, yang menurut saya adalah sebuah keputusan bisnis yang sangat-sangat salah yang dilakukan oleh Saverin sendiri. Jika dilihat, Zuckenberg akhirnya berkonfrontasi. Dengan orang-orang yang mungkin sudah ditakdirkan untuk berseberangan dengannya, Winkenvlosses dan Narendra, serta dengan orang yang sebenarnya berada dalam lingkaran dalam kehidupan sosial Zuckenberg. Saverin adalah pemodal Facebook pertama yang juga teman dekat Zuckenberg. Bisa dikatakan keduanya bersahabat hingga akhirnya masalah uang juga yang memisahkannya.
Sound so college life, right? Kita mungkin mempunyai orang-orang yang memang sudah dari awalnya tidak akan cocok dengan kita. Kita juga menghadapi orang-orang yang berada di posisi netral, dalam artian ada di sana, mengenanlnya, namun hanya sebatas itu. Kita juga mempunyai orang-orang yang sangat dekat, secara personal. Namun, terkadang manuver tajam harus diambil dalam kehidupan sosial di kampus. Mungkin orang-orang yag bersebrangan dengan kita ada di posisi puncak jaringan sosial kampus. Mungkin mereka yang netral sebenarnya orang yang akan menghargai dan menerima kita apa adanya hingga tiba masanya kita meninggalkan kampus. Mungkin yang pada awalnya berada dalam lingkaran dalam kehidupan sosial kita sebenarnya mempunyai agenda lain, atau bahkan kita yang ternyata mempunyai agenda lain dibaliknya. Siapa yang tahu. Kehidupan kuliah itu brutal, penuh intrik, basa-basi, sikut sana-sikut sini, tapi juga berarti sejuta kemungkinan mendapatkan orang-orang terbaik dalam hidupmu. Mau tak mau, suka tak suka, yang awalnya mungkin kamu mempunyai idealisme menjadikan kampus hanya ssebagai tempat belajar, akhirnya menyerah kepada keadaan bahwa status sosial adalah segalanya. Jika tidak, kita sudah tahu akan menjadi siapa, kita akan tetap menjadi dia yang tidak dikenal, dia yang hanya akan berdiri di pojok, dia yang mungkin hanya akan menyantap makan siangnya sendirian.
Tapi, saya juga tidak seratus persen setuju dengan sistem sosial yang ada. Terkadang, sistem sosial ini malah membatasi interaksi yang ada. Kamu hanya berkutat di satu putaran saja, tidak berkembang. Ketika kamu akan mulai mengembangkan jaringan, kamu malah akan dianggap akan mulai pindah haluan. Kamu yang berada di puncak sana akan menjaga reputasi sebersih mungkin, demi posisi. Kamu yang tidak dikenal berusaha membentuk reputasi. Brutal, sadis. Yang mungkin seharusnya terjadi adalah sebuah sistem yang saling harmoni, dalam artian dinamika pertemanan yang terus berputar meskipun memang kamu hanya akan berpusat pada satu titik saja. Berteman bisa dengan siapa saja, tapi dalam memilih sahabat tentu kamu harus sangat selektif. Ada perbedaan besar antara teman dengan sahabat. Tidak usahlah saya lanjutkan apa itu teman dan apa itu sahabat, karena saya yakin kamu semua sudah tahu jawabannya.
Beruntunglah saya. Di tempat saya sekarang menuntut ilmu, sistem yang ada bisa dibilang adalah sistem sosial yang saya bayangkan mengenai kehidupan kampus. Kami memiliki kelompok-kelompok sendiri untuk berinteraksi, tapi bukan berarti juga kami tertutup dengan yang lainnya. Saya masih bisa nonton bioskop dengan teman-teman yang biasanya tidak nongkrong bareng, teman saya pun masih dengan bebas main futsal satu angkatan. Kami profesional, ketika sudah terkait dengan kuliah dan kerjaan lainnya. Kami dapat membagi mana yang privat dan publik. Sehingga, kami tahu pasti bahwa privat harus diselesaikan dengan privat juga, begitu juga dengan urusan publik.
Mungkin, yang harus dicatat adalah sebuah konsep yang menurut saya sangat manusiawi, lawan. Saya tidak mau munafik dengan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Saya pernah berada di posisi memiliki lawan, saingan, atau apapun kamu menyebutnya. Namun, lambat laun saya mengerti, bahwa hakikatnya lawan hanyalah mereka yang berbeda cara pandang dengan kita, meski objek yang dipandang adalah sama. Perspektif. Dan beruntunglah saya bahwa jurusan saya mengajarkan banyak perspektif, yang ternyata membawa banyak juga pelajaran hidup. Dari sana kami berpendapat bahwa perbedaan yang ada bukan untuk ditonjolkan. Hal terebut hanyalah sebuah alternatif lain dari memandang sesuatu, dan akhirnya bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan.
Pada titik ini, saya mulai dapat melihat sebuah titik terang. Tidak perlu menjadi Zuckenberg yang akhirnya harus berhadapan dengan teman dekatnya sendiri di mata hukum, demi mendapatkan jutaan teman lainnya. Yang dibutuhkan adalah mejadikan mereka yang berada di dalam sistem sosial kita sebagai TEMAN, dan mencari beberapa SAHABAT. Dan saya pun akhirnya harus bersyukur, bahwa the entire experience of my college years is not a Facebook experience, in Mark perspective. He need to make a few enemies, to gain a million friends. In my Facebook experience, I can add a thousand people, as friends, but I can share my life, this white, black and grey experience, with a few, certain, intimate friends, who I called them, my bestfriends.
No comments:
Post a Comment