Monday, January 31, 2011

To Have A Million Friend, You Just Need A Few Enemies

Sound like high school, or college life, right? Itulah yang saya dapatkan setelah menonton The Social Network, sebuah film tentang awal mula Facebook, sebuah situs jejaring sosial terbesar saat ini dan bagaimana Mark Zuckenberg memulai semua hal yang menjadikannya miliuner termuda saat ini. Mark adalah tipikal anak kuliahan yang berusaha untuk mendapatkan status sosialnya di kampus, kecuali kampusnya adalah Harvard, one of the old and prestigious college in the world, di mana row crew, kelompok persaudaraan, dan club-club tertentu adalah puncak dari status sosial di sana. Tidak ada yang akan melirik seorang kutu buku, kecuali kutu buku tersebut membuat sesuatu yang akan menggemparkan Harvard, bahkan dunia. Dan Mark melakukan segalanya.

Percaya atau tidak, status sosial ternyata tidak hanya terjadi di Amerika Serikat sana, namun juga di Indonesia, dan mungkin di universitas manapun di dunia ini. Coba lihat lagi keadaan kampusmu. Adakah yang disebut kehidupan harmoni di mana kampus tidak terpecah menjadi kelompok-kelompok? Adakah kampus yang tidak menjadikan dengan siapa seseorang berteman sebuah hal yang penting? Atau, adakah kampus yang menganggap bahwa kehidupan sosial hanyalah sebuah ironi belaka yang harusnya sudah masuk peti es peradaban karena kampus adalah institusi pendidikan? Mau tak mau, saya harus menjawab dengan lantang bahwa kehiupan sosial seseorang di kampusnya memang didorong oleh semua hal tersebut, teman, kelompok, geng, apapun kamu menyebutnya yang akan memberikan kamu status sosial di dalam kehidupan sosial yang sangat kompleks di masa kuliahmu.

Mulai setuju dengan saya, atau malah berbeda pendapat? Mari kita lanjutkan.

Zuckeberg memang pada akhirnya menjadi terkenal, sebagai penemu Facebook, sebagai miliuner dunia, tapi ternyata di balik kesuksesannya mencapai status sosial yang luar biasa, dia membuat ‘perang’ dengan beberapa orang, yang sayangnya mungkin dulunya adalah teman baiknya ketika dia masih dikategorikan sebagai seseorang yang cupu. Dia akhirnya harus menghadapi dua tuntutan hukum. Yang pertama adalah tuntutan dari the Winkenvlosses dan Narendra tetang kemungkinan bahwa Facebook dibangun atas dasar ide HarvardConnection, yang mana sedang dikembangkan oleh mereka dan Zuckenberg bersedia untuk membantu. Yang kedua, yang juga sebuah ironi menurut saya, adalah tuntutan dari Eduardo Saverin, sahabat/teman dekat/CFO/co-founder Facebook atas pengubahan ownership yang dimilikinya, yang menurut saya adalah sebuah keputusan bisnis yang sangat-sangat salah yang dilakukan oleh Saverin sendiri. Jika dilihat, Zuckenberg akhirnya berkonfrontasi. Dengan orang-orang yang mungkin sudah ditakdirkan untuk berseberangan dengannya, Winkenvlosses dan Narendra, serta dengan orang yang sebenarnya berada dalam lingkaran dalam kehidupan sosial Zuckenberg. Saverin adalah pemodal Facebook pertama yang juga teman dekat Zuckenberg. Bisa dikatakan keduanya bersahabat hingga akhirnya masalah uang juga yang memisahkannya.

Sound so college life, right? Kita mungkin mempunyai orang-orang yang memang sudah dari awalnya tidak akan cocok dengan kita. Kita juga menghadapi orang-orang yang berada di posisi netral, dalam artian ada di sana, mengenanlnya, namun hanya sebatas itu. Kita juga mempunyai orang-orang yang sangat dekat, secara personal. Namun, terkadang manuver tajam harus diambil dalam kehidupan sosial di kampus. Mungkin orang-orang yag bersebrangan dengan kita ada di posisi puncak jaringan sosial kampus. Mungkin mereka yang netral sebenarnya orang yang akan menghargai dan menerima kita apa adanya hingga tiba masanya kita meninggalkan kampus. Mungkin yang pada awalnya berada dalam lingkaran dalam kehidupan sosial kita sebenarnya mempunyai agenda lain, atau bahkan kita yang ternyata mempunyai agenda lain dibaliknya. Siapa yang tahu. Kehidupan kuliah itu brutal, penuh intrik, basa-basi, sikut sana-sikut sini, tapi juga berarti sejuta kemungkinan mendapatkan orang-orang terbaik dalam hidupmu. Mau tak mau, suka tak suka, yang awalnya mungkin kamu mempunyai idealisme menjadikan kampus hanya ssebagai tempat belajar, akhirnya menyerah kepada keadaan bahwa status sosial adalah segalanya. Jika tidak, kita sudah tahu akan menjadi siapa, kita akan tetap menjadi dia yang tidak dikenal, dia yang hanya akan berdiri di pojok, dia yang mungkin hanya akan menyantap makan siangnya sendirian.

Tapi, saya juga tidak seratus persen setuju dengan sistem sosial yang ada. Terkadang, sistem sosial ini malah membatasi interaksi yang ada. Kamu hanya berkutat di satu putaran saja, tidak berkembang. Ketika kamu akan mulai mengembangkan jaringan, kamu malah akan dianggap akan mulai pindah haluan. Kamu yang berada di puncak sana akan menjaga reputasi sebersih mungkin, demi posisi. Kamu yang tidak dikenal berusaha membentuk reputasi. Brutal, sadis. Yang mungkin seharusnya terjadi adalah sebuah sistem yang saling harmoni, dalam artian dinamika pertemanan yang terus berputar meskipun memang kamu hanya akan berpusat pada satu titik saja. Berteman bisa dengan siapa saja, tapi dalam memilih sahabat tentu kamu harus sangat selektif. Ada perbedaan besar antara teman dengan sahabat. Tidak usahlah saya lanjutkan apa itu teman dan apa itu sahabat, karena saya yakin kamu semua sudah tahu jawabannya.

Beruntunglah saya. Di tempat saya sekarang menuntut ilmu, sistem yang ada bisa dibilang adalah sistem sosial yang saya bayangkan mengenai kehidupan kampus. Kami memiliki kelompok-kelompok sendiri untuk berinteraksi, tapi bukan berarti juga kami tertutup dengan yang lainnya. Saya masih bisa nonton bioskop dengan teman-teman yang biasanya tidak nongkrong bareng, teman saya pun masih dengan bebas main futsal satu angkatan. Kami profesional, ketika sudah terkait dengan kuliah dan kerjaan lainnya. Kami dapat membagi mana yang privat dan publik. Sehingga, kami tahu pasti bahwa privat harus diselesaikan dengan privat juga, begitu juga dengan urusan publik.

Mungkin, yang harus dicatat adalah sebuah konsep yang menurut saya sangat manusiawi, lawan. Saya tidak mau munafik dengan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Saya pernah berada di posisi memiliki lawan, saingan, atau apapun kamu menyebutnya. Namun, lambat laun saya mengerti, bahwa hakikatnya lawan hanyalah mereka yang berbeda cara pandang dengan kita, meski objek yang dipandang adalah sama. Perspektif. Dan beruntunglah saya bahwa jurusan saya mengajarkan banyak perspektif, yang ternyata membawa banyak juga pelajaran hidup. Dari sana kami berpendapat bahwa perbedaan yang ada bukan untuk ditonjolkan. Hal terebut hanyalah sebuah alternatif lain dari memandang sesuatu, dan akhirnya bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan.

Pada titik ini, saya mulai dapat melihat sebuah titik terang. Tidak perlu menjadi Zuckenberg yang akhirnya harus berhadapan dengan teman dekatnya sendiri di mata hukum, demi mendapatkan jutaan teman lainnya. Yang dibutuhkan adalah mejadikan mereka yang berada di dalam sistem sosial kita sebagai TEMAN, dan mencari beberapa SAHABAT. Dan saya pun akhirnya harus bersyukur, bahwa the entire experience of my college years is not a Facebook experience, in Mark perspective. He need to make a few enemies, to gain a million friends. In my Facebook experience, I can add a thousand people, as friends, but I can share my life, this white, black and grey experience, with a few, certain, intimate friends, who I called them, my bestfriends.

Setitik Memori di Berjuta Keping Kenangan

Saya baru saja selesai menonton Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Sebuah film yang menurut saya sangat, sangat bagus. Entah kenapa saya baru menontonnya sekarang, padahal film ini sempat masuk nominasi Academy Awards, yang berarti seharusnya sudah saya tonton berulang kali hingga saya tidak ingin menontonnya lagi. Film ini bercerita tentang seseorang yang ingin menghilangkan memorinya, menghilangkan setitik kenangan tentang sesuatu yang spesifik, hingga dia dapat bangun dari tidur dan menganggap bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi. Ironis, dan futuristis, meskipun saya tidak yakin bahwa hal semacam itu bisa dilakukan. Siapa pula yang pernah terlintas dalam akal sehatnya bahwa amnesia adalah sesuatu yang diinginkan dalam hidupnya, meski amnesia itu parsial.

Namun selama kurang lebih seratus menit, saya diajak untuk berpikir, jika memang hal semacam itu memungkinkan untuk dilakukan, adakah satu kenangan dalam hidup saya yang ingin saya hapuskan? Adakah seseorang, yang untuk alasan tertentu, tidak ingin saya ingat pernah menjadi bagian dari hidup saya? Dan mulailah saya untuk merenungi setiap kejadian, pencapaian, kegagalan, hingga orang-orang yang selama ini ada di kehidupan saya.

Mungkin jika diibaratkan memori komputer, otak manusia adalah super hard-disk yang bisa menyimpan entah berapa besar kenangan, dari hal paing sepele hingga hal-hal besar yang mendefinisikan hidup kita. Dalam memori super canggih bernama otak ini, saya mungkin menemukan beberapa hal yang memalukan hingga membanggakan, orang-orang yang saya kenal dan menjadi bagian hidup saya hingga orang-orang yang demi Tuhan ingin saya lupakan. Entah sudah berapa banyak yang saya ingat, namun entah sudah beberapa titik juga saya ragu untuk melupakan sesuatu dari ingatan saya. Memori, entah mengapa, selalu datang dan pergi, selalu ada di saat kita tidak ingin mengingat, dan terkadang hilang ketika dibutuhkan. Namun dia selalu ada di sana, siap untuk mengakses dirinya kapan saja.

Saya bersyukur bahwa dalam usia saya yang akan mencapai 22 bulan depan, banyak kenangan indah yang saya sendiripun masih bisa tersenyum, tertawa, hingga meneteskan air mata haru ketika mengingatnya kembali. Hidup saya terlalu berwarna, pencapaian yang saya lakukan telah menembus batas imajinasi saya akan hidup ini. Ada pula hal-hal sedih, menyesakkan, keterlaluan yang tidak ingin saya ingat kembali. Terlalu sedih, muram, menjengkelkan untuk dikenang. Namun, hey, bukankah hidup tidak selalu senang dan momen-momen yang bisa saya kategorikan titik terendah hidup ini juga merupakan momen yang membentuk hidup?
Di titik perenungan tersebut saya pun sadar, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya dan saya bersyukur untuk itu. Memori pahit yang ada pada otak saya ternyata bisa saya lalui dengan baik. Saya pun melihat kembali saya sekarang, di mana saya bahagia dengan hari ini dan terus menggapai bahagia di masa depan. Memori ada untuk menjadi pengingat, pembatas waktu begitu banyak momen hidup, hingga saya bisa bersyukur dengan apa yang terjadi hari ini dan yang akan datang.

Di era teknologi yang serba canggih ini, di mana memori dapat berceceran di berbagai keping-keping memori digital, sudah sepatutnya kita menjadikan masa lalu sebagai motivasi, untuk terus mejadi yang terbaik. Hidup tidak selalu sempurna, dan tidak selalu tidak sempurna. Sempurna adalah bagaimana cara kita memandang hidup sebagai sebuah anugrah.

Pada akhirnya, memori juga berhubungan paralel dengan hati, sekuat apapun keinginan saya untuk menghapuskan ingatan, hati selalu berbicara lain. Dan itulah indahnya hidup yang sebenarnya. Biarkan saja Joel dan Clementine yang menjalankan prosedur tersebut, karena pada akhirnya, seperti judul film itu, akan ada satu titik di memori kita yang menjadi kenangan yang entah bagaimanapun juga akan selalu ada di sana dan menjadi penanda siapa kita sebenarnya.